Friday, November 8, 2013

cuplikan novel siti nurbaya



XVI. PEPERANGAN ANTARA SAMSULBAHRI DAN

DATUK MERINGGIH




Setelah masuklah kapal yang membawa Letnan Mas ke

pelabuhan Teluk Bayur, turunlah sekalian bala tentara itu ke
daiat, lalu langsung berjalan ke kota Padang, Di sana gemparlah
isi kota, melihat bala tentara sekian banyaknya datang; cukup
dengan alat senjata dan meriamnya.
Yang seorang bertanya kepada yang lain:
"Mengapakah didatangkan serdadu sekian banyaknya ini?"
"Tidakkah engkau tahu?" jawab yang ditanyai. "Seluruh
tanah jajahan Belanda akan rusuh, sebab anak negeri hendak
melawan; tak mau membayar belasting."
Kabar kedatangan bala tentara, ini, sekejap itu juga pecah ke
sana kemari, sampai ke luar-luar kota, sehingga perempuan dan
anak-anak pun tahu hal ini. Maka ramailah dibicarakan
peperangan yang akan terjadi. Yang penakut, larilah
bersembunyi ke gunung-gunung dengan anak bini dan harta
bendanya; yang berani tinggallah di dalam kota, karena ingin
hendak melihat tamasya perang. Yang kaya, berharta banyak,
khawatir kalau-kalau harta bendanya dirampas orang. Yang
banyak beranak dan bersanak saudara, ngeri, takut anak-istri dan

kaum keluarganya terbawa-bawa mendapat kesusahan. Hanya

bangsa penjahatiah yang gembira hatinya, karena ada harapan
akan dapat mencuri dan menyamun dengan mudah dan sepuas,
puas hatinya. Saudagar-saudagar pun tak kurang khawatirnya,
sebab pada sangkanya, tentulah perniagaannya akan jatuh,
karena peperangan ini. Begitu pula pegawai-pegawai
Pemerintah, berdebar-debar hatinya, takut kalau-kalau serdadu
kalah. Jika demikian, tentulah mereka tiada akan mendapat
ampunan dari perusuh, karena sekalian yang tiada hendak ikut
melawan, dipandang mereka sebagai musuhnya. Hanya
perusuhlah yang geram melihat, bala tentara Pemerintah datang
sebanyak itu dan panas hatinya, lalu berpikir mencari akal akan
memperdayakan serdadu ini.
Setelah sampailah bala tentara itu ke tangsi Padang, pergilah
Letnan Mas kepada Kapitannya, minta izin akan pergi sebentar
dengan berjanji, segera akan kembali pula, karena adalah suatu
keperluan yang sangat penting baginya.
Mula-mula rupanya kapitannya tiada hendak memberi izin ini
tetapi tatkala dilihatnya Mas meminta amat sangat, diperkenan-
kanyalah juga permintaan itu dengan pesan, supaya jangan lewat
daripada pukul enam petang kembali. Sebab pada waktu itu hari
baru pukul setengah lima, berpikirlah Letnan Mas dalam hatinya,
"Tentu tidak terlambat aku kembali."

Dengan segera dipanggilnya sebuah bendi sewaan, lalu

berangkat menuju ke Muara. Setelah sampailah ia ke sana,
diseberanginyalah sungai Arau dengan perahu dan didakinya
Gunung Padang. Di tengah jalan bertemulah ia dengan seorang
fakir, yang tinggal di atas gunung itu, lalu ditanyakannya di
mana kubur Baginda Sulaiman, saudagar yang berpulang kira-
kira sepuluh tahun telah lalu. Walaupun fakir itu sangat heran
mendengar perkataan ini dan berpikir dalam hatinya, apakah
sebabnya seorang letnan menanyakan kubur seorang Melayu,
tetapi ditunjukkannya juga kubur itu.
Setelah sampai ke makam ini, kelihatanlah oleh Letnan Mas
tiga buah kubur dalam suatu tempat yang berpagar tembok. Dua
buah daripada kubur ini, letaknya berdekat-dekatan; yang sebuah
lagi agak jauh sedikit. Tatkala dibacanya huruf yang tertulis pada
batu nisan kubur yang berdekat-dekatan itu nyatalah kepadanya,
bahwa kubur itulah yang dicarinya. Karena tiada tertahan oleh
Letnan Mas hatinya, segeralah ia masuk ke dalam makam ini,
lalu berlutut di antara kedua kubur yang berjauh-jauhan itu,
sambil memeluk keduanya dengan kedua belah tangannya. Di
situ menangislah ia tersedu-sedu, seraya meratap demikian,
"Aduhai Nurbaya dan Ibu yang sangat hamba cintai!
Mengapakah sampai hati benar meninggalkan hamba seorang
diri di atas dunia ini? Berjalan tiada hendak berkata-kata, pergi

tiada hendak membawa-bawa. Mengapakah tiada diajak hamba

pergi bersama-sama dan tiada dinantikan hamba, supaya boleh
hamba temani, dalam perjalanan yang jauh itu? Dan tatkala telah
ditinggalkan, mengapakah tidak lekas dijemput, dibiarkan
sepuluh tahun lamanya hamba mengembara ke sana kemari,
mencari jalan akan mengikut Bunda dan Adinda, sehingga
sampai kepada waktu ini pekerjaan itu sia-sia belaka.
Aduhai! Bilakah masanya kita akan dapat berjumpa pula dan
bilakah waktunya kita akan dapat berkumpul dan bercakap-
cakap, sebagai dahulu? Bunda dan Nur, pintakanlah kepada
Allah subhanahu wataala, supaya jangan dipanjangkan-Nya lagi
umur hamba ini dan lekaslah dipertemukan-Nya kita sekalian;
karena hidup bercinta seperti ini, sesungguhnyalah tiada terderita
oleh hamba. Cukuplah sepuluh tahun lamanya hamba
menanggung siksa dan azab yang tiada tertanggung oleh manusia
dan patutlah sudah hamba dilepaskan daripada penjara yang
sedemikian.
Aduh Nur, aduh Adikku! Tiada kusangka sekali-kali akan
beginilah akhirnya kita ini. Mengapakah segala pengharapan dan
cita-cita orang dikabulkan, tetapi harapan dan cita-cita kita
dijadikan seperti ini? Apakah salahmu, dan salahku dan salah
kita ini, maka beroleh nasib yang sedemikian ini? Sudahlah di
dunia ini, segala pengharapan dan permintaan kita, yang kita

pohonkan sebilang waktu, tiada dikabulkan, di akhirat kelak ada

akan disampaikan Allah, segala cita-cita itu? Ah, pada rasaku tak
adalah manusia yang malang sebagai kita ini! Sepuluh tahun
lamanya aku menanggung sengsara dan dukacita; sepuluh tahun
pula aku menanggung rindu dendam, kepadamu, tetapi sampai
sekarang ini, belum disampaikan Tuhan juga maksudku ini.
Berapakah lamanya lagi aku harus menunggu?
Tetapi oya, Nur; aku telah beroleh alamat, bahwa aku segera
akan dipertemukan dengan engkau, karena inilah penghabisan
sisaku. Mudah-mudahan demikianlah hendaknya; doakan
bersama-sama.
Suatu yang belum kuketahui, yaitu dapatkah aku menuntut-
kan belamu atau tiada? Tetapi biarpun tak dapat, Allah Yang
Maha Kuasa takkan lupa, bahwa tiap-tiap kesalahan itu tiada
akan luput daripada hukumannya. Biarlah bersama-sama kita
kelak menyembahkan kesalahannya ini."
Setelah itu diciumlah oleh Letnan Mas kedua nisan kubur itu,
lalu berdiri perlahan-lahan dan berkata kepada fakir yang masih
tercengang berdiri di sana, melihat kelakuan letnan ini, karena
heran, mengapakah seorang Belanda, menangis di kubur seorang
Islam!
"Fakir, mengajilah Tuan di sana, bagi arwah segala yang
telah meninggal itu. Inilah hamba beri sedekah!" lalu

dikeluarkannya uang kertas sepuluh rupiah dari dalam tempat

uangnya, diberikannya kepada fakir ini. Karena seumur
hidupnya, belum pernah fakir ini menerima hadiah sekian
banyaknya, sangatlah sukacita hatinya, lalu mengaji semalam-
malaman di makam itu.
Sementara Letnan Mas pergi ke Gunung Padang, datanglah
kabar dari Gubernur Padang, mengatakan malam itu perusuh
akan masuk ke dalam kota, membuat huru-hara. Oleh sebab itu
dimintalah sebagian daripada serdadu yang ada itu, pergi ke luar
kota, mengadang musuh ini, supaya jangan sampai berperang di
dalam kota.
Kira-kira pukul tujuh malam, berangkatlah sepasukan
serdadu yang dipimpin oleh Letnan Mas dan Van Sta, ke luar
kota Padang menuju Kota Tengah. Pukul sembilan, sampailah
mereka ke Tabing dan tiada berapa lama kemudian, hampirlah
mereka ke Kota Tengah. Dari jauh telah kelihatan berpuluh-
puluh orang; sekaliannya memakai serba putih, berkumpul-
kumpul di pinggir jalan, di muka sebuah kedai; rupanya mereka
sedang bermusyawarat, bagaimana hendak menyerang.
Sekaliannya bersenjata sebuah golok.
Tatkala kelihatan oleh perusuh serdadu datang, gemparlah
sekaliannya; ada yang mengambil senjatanya, ada yang
menghunus kerisnya, ada yang memencak, ada yang berteriak

memanggil kawan, ada yang memaki-maki dan ada pula yang

mengacu-acukan senjatanya; berbagai-bagai kelakuan mereka.
Setelah hampir kepada mereka ini, Letnan Mas menyuruh
berhenti serdadunya dan membariskan mereka. Seorang
kemendur yang mengikut bersama-sama maju ke muka,
menyuruh perusuh menyerahkan dirinya. Tetapi jangankan di-
indahkan mereka, kemendur itulah yang dimaki-makinya, seraya
memencak mengajak berkelahi. Setelah tiga kali kemendur
membujuk dengan lemah-lembut, menyuruh mereka menyerah-
kan diri, tiada juga didengar oleh orang-orang itu, diserahkan-
nyalah kekuasaan ke tangan Letnan Mas. Letnan Mas menyusun
serdadunya, lalu menyuruh menembak ke udara. Seketika itu
juga berbunyilah kira-kira tiga puluh bedil, sekaligus. Tatkala
didengar perusuh bunyi bedil ini dan dilihatnya, tiada seorang
pun yang kena, bertambah-tambahlah berani mereka, karena
pada sangkanya sesungguhnyalah mereka tiada dimakan anak
bedil lagi, berkah ajimat yang diperolehnya dari gurunya. Maka
bertempiklah mereka bersorak dan ratib mengucap "La illaha
illallah" lalu maju ke muka. Setelah hampirlah mereka, barulah
Letnan Mas memerintahkan membedilnya.
Tatkala berbunyilah bedil kedua kalinya, rebahlah sebaris
orang yang di muka, jatuh ke tanah. Ada yang menjerit, ada yang
memekik, ada yang meminta tolong dan ada pula yang terus

ratib, tetapi banyak yang tiada bersuara lagi karena terus mati.

Perusuh yang berdiri di belakang, bingunglah sejurus, tiada tahu
apa yang dibuatnya. Ketika berbunyi pula bedil ketiga kalinya,
pecahlah perang perusuh itu, karena banyak yang mati. Mana
yang tinggal larilah cerai-berai kian kemari, membawa dirinya
masing-masing.
Akan tetapi seketika itu juga, keluarlah beberapa orang tua-
tua dan haji-haji dari dalam sebuah rumah, lalu berteriak
memanggil sekalian orang yang lari itu, serta mencabut kerisnya
dan maju ke muka. Karena melihat keberanian ini, berbaliklah
sekalian yang lari, lalu mengikut guru-gurunya dengan
bertempik sorak pula, menyerang serdadu-serdadu dari dua
pihak. Oleh sebab cepat datang mereka menyerbukan dirinya,
serdadu-serdadu Letnan Mas, tiadalah sempat menembak lagi,
lalu mempergunakan bayonetnya. Dengan segera menjadi
ramailah peperangan itu, masing-masing mencari lawannya. Ada
yang bertikam-tikaman, ada yang bertetak-tetakan pedang, ada
yang tangkis-menangkis, berpukul-pukulan, tangkap-menangkap
dan banting-membantingkan. Yang mati, jatuh, yang luka,
berdarah, yang takut, lari, yang berani mengejar. Ada yang maju,
ada yang mundur, ada yang melompat, berbagai-bagai kelakuan
mereka. Suara pun bermacam-macam kedengaran, gegap
gempita, tiada disangka bunyi lagi, dicampuri pula oleh bedil,

pistol, pedang dan parang. Walaupun bulan terang cahayanya,

tetapi di tempat itu gelap, karena asap bedil. Dan jika pakaian
mereka tiada sangat berlainan, yakni hitarn dan putih, niscaya
tiadalah tentu lawan kawan. Letnan Mas dengan kepala perusuh,
kelihatan sama-sama mengerahkan bala tenteranya, menyuruh
maju sambil membedil dan menetak.
Tiada berapa lamanya berperang itu, banyaklah yang mati
dan yang luka pada kedua belah pihak. Darah mengalir di jalan
raya dan mayat tersiar-siar di sana-sini. Oleh sebab dari
kampung tiada putus-putusnya datang bantuan perusuh, tiadalah
tertahan oleh Letnan Mas serangan musuhnya, sehingga
disuruhnya serdadunya undur perlahan-lahan. Bila tiada datang
bantuan dari Letnan Van Sta, pastilah pecah perang Letnan Mas.
Untunglah pada waktu itu juga kedengaran tempik sorak serdadu
Letnan Van Sta, yang menyerbukan diri ke medan peperangan.
Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, undurlah perusuh
perlahan-lahan dan akhirnya, tatkala bantuan mereka tak datang
lagi, pecahlah perang mereka, lalu lari kian kemari,
bertemperasan, diburu oleh serdadu-serdadu kedua letnan itu.
Tatkala mengejar perusuh, kelihatan oleh Letnan Mas,
seorang daripada kepala mereka, bangun badan, perjalanan dan
suaranya serupa benar dengan bangun badan, perjalanan dan
suara Datuk Maringgih, musuhnya yang sekian lama dicari-

carinya. Maka berdebar-debarlah hati Letnan Mas dan gemetar

tangannya serta berubah mukanya, sebagai suka bercampur
duka. Suka karena ada pengharapan akan dapat membalaskan
sakit hatinya, dan duka karena ingat akan segala kejahatan yang
telah diperbuat jahanam itu. Ketika kepala perusuh ini hendak
melarikan dirinya, diburunyalah orang itu dengan tiada berpikir
panjang lagi. Setelah berhadap-hadapan mereka, nyatalah pada
Letnan Mas, bahwa persangkaannya tadi benar, karena
sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di
mukanya, lalu berkatalah ia, "Datuk Meringgih! Benarkah
engkau ini?"
"Ya, akulah Datuk Meringgih, saudagar yang kaya di Padang
ini," jawab kepala perusuh itu. "Engkau ini siapa, maka kenal
kepadaku?
Setelah diamat-amatinya Letnan Mas ini, terperanjatlah ia
lalu surut beberapa langkah ke belakang, seraya berteriak,
"Samsulbahri! Engkau tiada mati? Atau setannyakah ini?"
"Seketika itu juga melompatlah ia kembali ke muka, hendak
menetak Letnan Mas. Letnan Mas melompat ke kanan, lalu
berkata, "Tunggu dahulu, Datuk Meringgih! Karena banyak yang
terasa dalam hatiku, yang hendak kukatakan kepadamu, sebelum
aku terpaksa mencabut nyawamu."
Mendengar perkataan ini berdirilah Datuk Meringgih, karena

hendak mengetahui, apakah yang akan dikatakan musuhnya itu.

"Datuk Meringgih! Sesungguhnya akulah Samsulbahri, yang
sepuluh tahun telah lalu, sudah mati, tetapi yang dikeluarkan
kemtali dari dalam kubur, untuk menghukum engkau atas segala
kejahatanmu yang keji itu. Tatkala aku membedil diriku di
Jakarta, karena terlebih suka mati daripada hidup menanggung
sengsara yang asalnya daripada perbuatanmu, tiadalah disampai-
kan Tuhan maksudku itu. Rupanya aku terlebih dahulu harus
menuntut bela atas segala kesalahanmu. Itulah sebabnya maka
peluru yang kutujukan ke kepalaku, tiada menembus otakku.
Karena aku terperanjat, mendengar suara sahabatku, Arifin, yang
tatkala itu berteriak, dan tanganku bergoyang, sehingga anak
bedil, sekadar merusakkan tulang kepalaku saja. Ketika aku
sadar akan diriku, kupintalah kepada dokter dan sekalian orang
yang tahu akan halku, supaya kabar aku hidup kembali, tiada
disiarkan ke mana-mana, karena pada pikiranku, lebih baik aku
disangka orang telah mati daripada hidup sedemikian. Beberapa
kali aku mencari kematian, tetapi tiada juga dapat, karena Tuhan
masih memanjangkan umurku, supaya dapat menghukum
engkau atas segala dosamu.
Sepuluh tahun lamanya aku menanggung sengsara dan
dukacita yang tiada terderita, sepuluh tahun pula aku menaruh
dendam dalam hatiku kepadamu. Sekarang barulah disampaikan

Tuhan maksudku itu; sekarang barulah dapat aku menuntutkan

bela sekalian orang yang telah engkau aniaya, hai penjahat yang
sebesar-besarnya! Karena kekayaanmu, menjadilan engkau
sombong dan angkuh serta tekebur kepada Tuhan, yang telah
memberunu kekayaan itu. Pada sangkamu dengan kekayaan itu
tentulah 'kan dapat engkau berbuat sekehendak hatimu. Yang
tinggi kaujatuhkan, yang mulia kauhinakan, yang kaya kau
miskinkan dengan tiada pandang-memandang, tiada tilik-menilik
dan tiada menaruh belas kasihan, asal nafsumu yang jahat dan
hina itu dapat kaupenuhi.
Hai Datuk durhaka! Kekayaanmu itu tiada memberi paedah
kepada teman sejawatmu, sahabat kenalanmu, sesamamu
manusia dan kepada dirimu sendiri sekalipun, melainkan men-
datangkan segala bahaya, sengsara, duka nestapa kepada isi
negeri. Tiada layak engkau dikurniai Tuhan senjata yang sekuat
itu.
Dengan kekayaanmu itu kauceraikan anak daripada bapanya,
adik daripada kakaknya, asyik daripada masyuknya, sahabat
daripada karibnya. Dengan kekayaanmu itu kaujatuhkan Baginda
Sulaiman, sampal berpulang ke rahmatullah, karena dukacita;
dengan kekayaanmu itu kaupaksa anaknya menurut kesukaanmu
yang keji, kekasih dan saudaranya kauaniaya ini sampai hampir
mati di dalam laut. Kemudian kaudakwa ia mencuri barang-

barangmu yang kauperoleh dengan tipu daya, darah keringat

orang lain. Tatkala engkau tiada berdaya lagi akan memaksa
Nurbaya, yang tiada bersalah itu, kaubunuhlah ia dengan racun.
Dengan kekayaanmu itu kauceraikan aku daripada ibu-bapa
dan kaum keluargaku dan kauputuskan, pengharapanku akan
menjadi orang baik-baik, sehingga ibuku meninggal dunia
karena kesedihan hati. Sungguhpun demikian, sekalian itu belum
lagi seperseratus dari segala dosamu yang harus kautanggunl.
Hai Datuk Meringgih! Tiadakah terasa olehmu kesalahnmu
itu? Tiadakah takut engkau kepada Tuhan, yang memberikan
segala kekuasaan itu kepadamu? Tiadakah malu engkau kepada
sesamamu manusia, yang engkau perdayakan? Dan tiadalah
belas kasihan engkau kepada sekalian mereka, yang telah
menjadi kurbanmu?"
Samsulbahri berhenti sejurus berkata-kata itu, karena penuh
rasa dadanya dan sesak rasa napasnya, menahan hatinya yang tak
dapat direncanakan di sini.
Datuk Meringgih tiada menjawab sepatah kata pun, sebab
baru dirasanya waktu itu, kebenaran perkataan Samsulbahri ini.
Di situlah baru nyata padanya, bahwa sebenarnya sampai kepada
waktu itu, belumlah lagi ia berbuat kebaikan dengan hartanya
yang sekian banyaknya itu. Bila ia mati dalam peperangan ini,
tentulah segala hartanya itu akan terbagi-bagi kepada yang

tinggal dan apakah akan dibawanya ke dalam kubur? Tak lain

nama yang jahat, sumpah, umpat dan maki segala mereka yang
telah dianiaya. Dan tentulah sekalian itu akan memberatinya
dalam kuburnya. Bila ada ia berbuat kebaikan, barangkali adalah
juga yang akan mendoakan arwahnya.
Di sana, tatkala ia telah hempir ke pintu kubur, baru
diinsyafinya, bahwa harta dunia itu sangat sedikit harganya,
untuk kehidupannya di negeri yang baka. Maka timbullah sesal
dalarn hatinya atas perbuatannya yang telah lalu. Akan tetapi apa
hendak dikata, karena tatkala itu dirasainya, ia tak dapat lagi
memperbaiki kesalahannya itu.
Setelah sejurus berdiam diri, berkatalah pula Samsulbahri
dengan menyapu air matanya, yang tak dapat ditahannya, "Hai
Datuk Meringgih! Sekaranglah akan kuperlihatkan kepadamu,
bahwa ada lagi yang terlebih berkuasa daripada hartamu itu.
Walaupun seratus kali lebih banyak hartamu dari yang ada
sekarang ini, tiadalah akan dapat ia mengubah pikiranku, hendak
membalas kejahatanmu itu dan tiadalah dapat ia menolong
melepaskan engkau dari dalam tanganku. Terimalah olehmu
hukumanmu!" lalu Samsu mengangkat pestolnya, menembak
Datuk Meringgih. Tetapi tatkala itu juga Datuk Meringgih
melompat ke muka, menetak Samsulbahri dengan parangnya,
sambil berteriak, "Rasailah pula olehmu bekas tanganku, hai

anjing Belanda!"

Setelah itu juga rebahlah keduanya ke tanah; Datuk
Meringgih karena kena peluru Samsulbahri, yang menembus
dada dan jantungnya dan Samsulbahri, karena kena parang
Datuk Meringgih kepalanya.
Tatkala diangkat Letnan Mas oleh serdadwrya, kelihatan di
antara mayat-mayat perusuh itu, dua mayat yang memakai serba
hitam yang seorang lehernya hampir putus, rupanya kena
kelewang, yang seorang lagi dadanya tembus kena bayonet.
Itulah mayat Pendekar Lima dan Pendekar Empat, yang beroleh
hukuman daripada Yang Maha Kuasa, atas segala kejahatannya.
Dua hari kemudian daripada peperangan yang tersebut di atas
ini, kelihatanlah dalam rumah sakit di Padang, seorang opsir,
sedang tidur di atas sebuah ranjang, berselimutkan kain selimut
putih. Rupanya ia sakit keras, karena hampir seluruh kepalanya
terbungkus perban putih, sehingga hanya mukanya saja yang
tampak, yang pucat warnanya. Dekat tempat tidur ini, berdirilah
seorang penjaga, yang sedang mengatur gelas-gelas obat,
perlahan-lahan; rupanya ia takut, kalau-kalau si sakit ini terkejut
bangun. Ketika itu masuklah seorang dokter Belanda, hendak
memeriksa keadaan si sakit ini.
Mendengar bunyi sepatu dokter si sakit membuka matanya
dan memandang kepada dokter. Di situ nyata, mata si sakit telah

kabur warnanya dan pemandangannya telah lemah. Dokter yang

masuk ini segera memberi salam, lalu bertanya, "Apa kabar?"
"Perasaan badan ada baik sedikit, walaupun sakit kepala
belum hilang benar," jawab si sakit perlahan-lahan. .
"Memang, sakit kepala itu dalain dua tiga hari ini barangkali
masih ada," lalu dokter memeriksa kulit muda mata dan jalan
darah pada pangkal lengan si sakit. "Berapa panas badannya pagi
ini?" tanya dokter kepada penjaga.
"Ada hamba tuliskan," jawab penjaga, seraya mengunjukkan
sehelai daftar. Setelah doukter melihat daftar ini, terdiamlah ia
sejurus.
"Tuan Dokter," kata si sakit pula dengan tiba-tiba.
"Walaupun hamba katakan tadi, perasaan badan hamba senang
sedikit, tetapi kesenangan itu, pada sangka hamba, bukan
kesenangan karena akan sembuh. Jangan marah, bila hamba
katakan, bahwa hamba tiada lama lagi akan hidup di atas dunia
ini; karena demikianlah perasaan hamba. Janganlah Tuan
sembunyikan pendapatan Tuan kepada hamba, karena misalnya
Tuan kuatir, hamba takut mati. Sekali-kali tidak. Kematian telah
lama hamba ingini dan telah hamba cari di mana-mana. Baru
sekarang hamba peroleh. Syukurlah!
Lagi pula tadi malam hamba telah dikunjungi oleh kekasih
dan ibu hamba, yang telah lama meninggalkan dunia ini. Mereka

berjanji hari ini akan datang kembali menjemput hamba supaya

dapat pergi bersama-sama ke tempat mereka."
Di sini berhentilah si sakit berkata-kata sejurus lamanya
karena percakapan ini rupanya sangat melemahkannya. Kepala-
nya dipegangnya, sebagai ia berasa sakit di sana.
"Jika berasa lelah, lebih baik jangan berkata-kata dahulu."
kata dokter.
Setelah berdiam sejurus si sakit menggagahi dirinya, untuk
meneruskan perkataannya, "Tak apa-apa Tuan Dokter. Jangan
kuatir! Sakit kepala hamba datang pula sedikit. Sebelum hamba
meninggalkan dunia ini ada suatu permintaan hamba kepada
Tuan."
"Permiritaan apa itu? Katakanlah! Jika dapat, tentu akan
hamba kabulkan." sahut dokter.
"Hamba ingin benar hendak bertemu dengan Sutan Mahmud,
Penghulu di Padang ini. Bolehkah?" tanya si sakit perlahan-lahan
putus-putus suaranya.
"Tentu sekali boleh." jawab dokter, walaupun ia tiada
mengerti apakah sebabnya seorang opsir tentara, hendak ber-
jumpa dengan seorang Melayu Padang. "Dengan segera ia akan
hamba minta datang kemari. Adakah lagi permintaan Tuan?"
"Tidak. Hanya itu. Terima kasih!" jawab si sakit.
"Baiklah," kata dokter pula, lalu ke luar, untuk menyuruh

panggil Sutan Mahmud.

Setelah keluar dokter, si sakit tertidur kembali, sebagai
kelelahan karena berkata-kata tadi.
Dua jam kemudian datanglah Sutan Mahmud ke rumah sakit
ini, lalu dibawa penjaga masuk bilik opsir tentara yang sakit tadi.
Tatkala dilihat Sutan Mahmud muka si sakit, sangatlah
terperanjat ia, karena rupa opsir ini tak ubah dengan rupa
anaknya Samsulbahri, yang telah ineninggal dunia di Jakarta,
sepuluh tahun yang telah lalu.
Dengan tiada dapat ditahannya, berlinang-linang air matanya,
sebab terkenang nasib anaknya yang malang itu, yang telah
membunuh dirinya, karena putus asa. Sekali-kali tiada disangka-
nya akan demikian untung anaknya yang sebiji mata itu.
Sebenarnya ia telah lama menyesal akan perbuatannya, yang
tergopoh-gopoh atas anaknya itu. Karena akan perbuatan
anaknya itu berhubung dengan bangsa dan pangkatnya yang
tinggi, diusirnya anaknya ini, sehingga istrinya yang hanya
seorang, mati karena kesedihan hati dan anaknya yang tunggal
mernbunuh diri, karena kedukaan. Setelah meninggal anaknya
ini dan setelah dipikirkannya benar-benar perkara ini, terasa
olehnya, bahwa kesalahan anaknya itu sebenarnya tiada
seberapa.
Percintaannya kepada Nurbaya, tak dapat disalahkan; karena

sejak kecil ia bercampur gaul dengan anak sahabatnya ini,

sebagai seorang yang bersaudara kandung. Persangkaannya,
bahkan pengharapannya pun, Nurbaya akan menjadi istri anak-
nya. Walaupun Nurbaya tiada berbangsa tinggi, tetapi tak
mengapa. Kecantikan parasnya, kepandaiannya dan tingkah
lakunya yang baik, telah cukup untuk pengganti kerugian
kebangsawanan Padang. lstrinya, Ibu Samsu, bukan orang
berbangsa, tetapi tiada menjadi alangan apa-apa bagi kehidupan
bersuami-istri. Memang patut Samsu bersanding dengan
Nurbaya, seorang cantik, seorang tangkas. Demikian kenang-
kenangan Sutan Mahmud.
Maka terbayanglah di matanya pada waktu itu, anaknya
duduk bersuka-sukaan dengan Nurbaya, sebagai orang yang
bersuami-istri. Samsu sebagai seorang dokter dan Nurbaya,
sedang memangku seorang anak laki-laki, cucunya.
"Ah, kalau tak ada Datuk Meringgih jahanam itu, niscaya
kenang-kenanganku ini bukan cita-cita, melainkan
sebenarnyalah. Dan jika tiada karena bangsa dan pangkatku yang
tinggi, barangkali tiada sampai kuusir anakku yang sebiji mata.
Sekarang apa hendak dikata? Karena keduanya tak ada di
dunia ini lagi. Semoga di akhirat dapat disampaikannya sekalian
cita-cita dan hasrat hatinya, yang tiada diperolehnya di dunia
ini."

Di situ bercucuran pula air matanya, jatuh berderai dengan

tiada dirasainya.
Sesungguhnya demikianlah, hati Sutan Mahmud. Sesal
dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, kata pepatah.
Walaupun engkau menjerit sampai ke langit sekalipun,
kesalahanmu ini tak dapat diperbaiki lagi. Jika tiada tergesa-gesa
engkau menjatuhkan hukurnan atas anakmu waktu itu,
barangkali tiada terjadi kesengsaraan dan kesedihan ini dan
dapatlah kaucapai cita-citamu tadi. Tetapi karena engkau masih
sangat terikat oleh kemegahan pangkat dan bangsamu, jadilah
demikian kesudahannya.
Tentu; mulut terdorong, mas padahannya; hukumanmu
terdorong kepada anakmu, kesengsaraan dan kematian beberapa
orang balasnya. "Terlebih besar dosamu atas kesalahanmu ini,
karena engkau seorang kepala negeri, ibu-bapa, tempat meminta,
tempat bertanya, tempat berlindung kepanasan, tempat berteduh
kelrujanan, bagi anak buahmu. Engkaulah yang harus
menyelesaikan yang kusut, memperjemih yang keruh dan
memperbaiki yang rusak.
Bila engkau kepada anakmu sendiri telah menjatuhkan
hukuman yang seberat itu, hanya karena engkau bersangka harus
berbuat sedemikian, karena kebangsawananmu dan pangkatmu
yang tinggi, betapakah engkau akan melakukan kewajibaumu

dengan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya kepada oiang lain''

fiap-tiap kesalahan itu memang ada hukumannya dan inilah
hukuman yang telah dijatuhkan Tuhan ke atas dirimu. Mudah-
mudahan dapatlah engkau memetik ibaratnya!
Sementara Sutan Mahmud berdiri termenung memikirkari
untung nasib anaknya yang malang dan merindukannya serta
menyesal akan perbuatan yang tergesa-gesa, menunggu si sakit
bangun, masuklah dokter tadi ke dalam bilik itu dan karena itu si
sakit terjaga daripada tidurnya, lalu membuka matanya dan
menoleh ke kanan ke kiri. Tatkala dililiatnya Sutan Mahmud,
lalu diperhatikannya Penghulu ini sejurus lamanya. Kemudian
ditutupnya pula matanya dan dilambainya Penghulu ini dengan
tangannya, supaya datang mendekatinya. Dokter dan penjaga
berdiri agak jauh sedikit, karena tiada hendak mendengarkan
percakapan yang mungkin tiada boleh didengar orang lain.
Setelah hampirlah Nenohulu Sutan Mahmud, lalu berkatalah
si sakit perlahan-lahan dengan putus-putus suaranya, "Tuanku
Penghulu! Hamba minta datang Tuanku kemari, karena adalah
suatu rahasia yang hendak hamba bukakan, sebelum hamba
berpulang. Rahasia itu ialah permintaan anak Tuanku sendiri,
Samsulbahri."
"Anak hamba Samsulbahri yang telah meninggal dunia di
Jakarta?" tanya Sutan Mahmud dengan terkejut.

"Ya, Samsu itu, yang tiada jadi mati," sahut si sakit.

"Samsu tiada mati. Anak hamba tiada mati?" tanya Sutan
Mahmud dengan tergesa-gesa dan amat herannya.
"Benar," sahut si sakit.
"Jadi ia masih hidup sekarang? Di manakah ia waktu ini? ...
Tetapi betapakah Tuan tahu akan hal ini."
"Sebab hamba waktu itu ada dalam rumah sakit, tempat ia
diobati," lalu diceritakanlah oleh si sakit tentang penembakan
diri Samsu di Jakarta dan apa sebabnya ia dikatakan telah mati.
Kemudian ia masuk tentara, untuk mencari kematian, tetapi tiada
diperolehnya juga. Akhirnya ia disuruh ke Padang untuk
memadamkan huru-hara belasting.
"Jika demikian, ia ada di Padang sekarang ini." kata Sutan
Mahmud dan mukanya bercahaya karena kesukaan.
"Benar ia datang bersama-sama hamba kemari dan berperang
pun bersama-sama hamba pula. Pangkatnya Letnan dan namanya
Mas, yaitu kebalikan namanya yang sebenarnya. Sam."
Karena bercakap-cakap ini rupanya si sakit bertambah lelah
sehingga berkata pun hampir tak dapat. Mukanya semakin pucat
dan acap kali ia memegaug kepalanya, karena kesakitan.
Setelah berhenti sejurus, berkata pula ia sambil mengangkat
kepalanya sedikit, sebagai kuatir, suaranya tiada akan terdengar
oleh Sutan Mahmud.

"Inilah pesannya: bila . . . ia ... mati minta ... dikuburkan ...

antara ... ibunya ... dan ... Nurbaya ... Allahu Akbar!"
Tatkala habis perkataan ini, habislah pula napas si sakit, lalu
rebah ke tempat tidurnya dan berpulanglah ia dengan tenangnya.
Walaupun kamatian si sakit ini amat tenang dan mudah
rupanya, karena muka mayatnya tiada berubah, sebagai orang
yang tidur biasa saja, sedang pada bibirnya masih berbekas
senyum, seolah-olah suka meninggalkan dunia yang fana ini,
tetapi Sutan Mahmud sangat terperanjat, melihat kematian yang
tiba-tiba ini. Setelah ia berkomat-kamit membaca doa sejurus
lamanya, seraya bertanya, "Kenalkah Tuan, Letnan Mas yang
datang dari Jakarta, bersama-sama Tuan yang baru meninggal
ini? Di manakah ia sekarang ini?"
"Letnan Mas?" tanya dokter dengan heran.
"Ya, Letnan Mas, yang datang kemari untuk berperang
dengan perusuh di Padang ini." kata Sutan Mahmud pula.
"Tiada lain, melainkan inilah dia, yang baru meninggal dunia
ini." jawab dokter.
Tatkala Sutan Mahmud mendengar perkataan dokter ini,
terpekiklah ia, lalu memeluk dan mencium mayat itu, sambil
menangis tersedu-sedu; karena sekarang nyatalah olehnya, si
sakit yang baru meninggal itu, tiada lain melainkan anaknya
sendiri, Samsulbahri, yang telah sepuluh tahun dirindu-rindukan-

nya, sekarang meninggal di hadapannya, dengan tiada dikenal-

nya.
"Aduhai Anakku, biji mataku!! Mengapakah tiada dikatakan
lebih dahulu, sehingga ayahda tiada tahu akan anak sendiri.
Memang sejak terpandang mukamu tadi, ayanda telah syak
wasangka; tetapi tiada berani membenarkan persangkaan itu,
karena mustahil rasanya. Wahai! Mengapakah Ananda tiada
hendak mengaku terus terang, melainkan menyembunyikan diri,
sampai ananda tak ada lagi. Barangkali ananda masih marah
kepada ayanda, sehingga tiada hendak mengaku bapa lagi
kepada ayanda.
Telah lama ayanda rasai dan ketahui kesalahan ayanda,
karena telah menjatuhkan hukuman yang berat, ke atas diri
Ananda, dengart tiada usul periksa yang sebaik-baiknya,
sehingga sesal yang tak kunjung putus, telah menggoda ayanda.
Oleh sebab itu, beringin benar ayanda beroleh maaf dari Ananda,
dunia dan akhirat.
Aduhai Ananda! Mengapakah tatkala hidup dalam sepuluh
tahun, tiada hendak kembali kepada ayanda, sehingga ayanda
hanya diberi kesempatan sejurus lamanya, untuk bercakap-cakap
dengan Ananda, yang tiada ayanda kenal lagi, pada penghabisan
umur Ananda?
Kesalahan ayanda kepada Ananda memanglah besar, tetapi

patut juga Ananda maklumi kekurangan orang tua, yang terikat

oleh adat istiadat negerinya, sebagai ayanda ini. Sekarang apalah
gunanya ayanda hidup lagi, seorang diri di atas dunia ini, karena
Ananda tak ada lagi; sedang bunda Ananda pun telah lama pula
meninggalkan ayanda. Bawalah ayanda bersama-sama, supaya
dapat pula kita bercampur gaul, sebagai dahulu. Janganlah
ayanda ditinggalkan seorang diri, di atas dunia ini!
"Ya Allah, ya Tuhanku! Lekaslah cabut pula nyawaku ini,
supaya dapat bertemu kembali dengan anak-istriku!"
Maka pingsanlah Sutan Mahmud, tiada khabarkan dirinya
lagi.
Pada keesokan harinya diusunglah sebuah jenazah dari rumah
Sutan Mahmud, Penghulu di Padang, yang dipikul oleh empat
orang Kepala Kampung. Jenazah ini, sebagai kebiasaan di
Padang, ditutup dengan kain putih, yang penuh ditaburi bunga-
bungaan. Sebelah ke muka, di tengah-tengah dan sebelah ke
belakang, jenazah itu dipayungi dengan payung kuning, tanda
yang meninggal itu seorang bangsawan tinggi. Di muka jenazah,
berjalan dua orang muda. Yang membakar setanggi dan gaharu
dalam perasapan yang ditaruh di atas dulang perak. Yang
seorang lagi membawa bunga-bungaan dan air cendana. Di kiri
kanan jenazah ini, berjalan beberapa pemuda bangsawan, yang
membawa tombak dan perisai, pedang dan panji-panji, dan lain-

lainnya, yang biasa dibawa dalam upacara penguburan anak raja-

raja. Hanya gendang dan serunailah yang tiada kedengaran
bunyinya, karena tiada dibenarkan oleh ulama-ulama.
Di belakang jenazah ini, kelihatan haji-haji, syekh-syekh,
ulama-ulama, yang tiada putus-putusnya zikir dan membaca doa.
Di belakang mereka, berjalan pembesar, pegawai-pegawai,
Kepala-Kepala, orang tua-tua, cerdik pandai, kaum bangsawan
dan rakyat biasa. Di belakang itu pula, berbaris serdadu yang
memakai pakaian kebesaran.
Mulanya akan disertakan musik dan penembakan bedil,
menurut aturan tentara, tetapi ini pun tiada dapat dibenarkan oleh
kaum ulama. Sebagai penutup, kelihatan kendaraan pembesar-
pembesar kota Padang, dari sekalian bangsa yang berjejer
sampai jauh ke belakang.
Jenazah siapakah itu? Itulah jenazah Samsulbahri, anak Sutan
Mahmud, Penghulu Padang yang terkenal, sebagai seorang
bangsawan tinggi, yang dihormati dan dimuliakan orang. Bagi
sahabat kenalannya, Samsulbahri adalah seorang yang baik budi,
peramah pengasih penyayang, penolong dengan tiada menilik
rupa dan bangsa. Dalam tentara ialah Letnan Mas, yang masyhur
gagah beraninya dan telah menolong Pemerintah dalam beberapa
kesukaran peperangan. Itulah sebabnya, tatkala hidupnya
dadanya dihiasi beberapa bintang. Bagi kaum keluarganya, ialah

seorang anak yang disayangi.

Di antara orang yang banyak, yang mengantarkan jenazah
ini, kelihatan seorang tua bungkuk, yang telah berambut putih,
berjalan perlahan-lahan di sisi jenazah, sebentar-sebentar
meminta ikut mendagang jenazah ini, dengan air matanya yang
tergenang di pelupuk matanya, seraya berkata seorang diri, "Ya,
inilah penanggungan orang yang dikurniai Tuhan umur yang
panjang. Segala yang muda-muda, yang mendahuluinya, harus
diantarkannya seorang ke dalam kubur, sampai datang giliran-
nya, ia sendiri diantarkan orang ke makamnya.
"Alangkah beratnya bagi mereka yang harus melihat kekasih-
nya dilahirkan dan diambil kembali, oleh Yang Maha Kuasa.
Ibunya kulihat dilahirkan, dan sepuluh tahun yang lalu, kuantar-
kan ia kekuburan. Anaknya ini, kulihat pula dilahirkan. Sekarang
harus pula kuantarkan ia ke makamnya. Tetapi aku sendiri,
bilakah datang giliranku? Dan siapakah yang akan mengantarkan
aku ke kuburku?" Demikianlah pikiran orang tua itu, yakni kusir
Ali yang sangat terikat hatinya kepada Samsulbahri dan ibunya.
Di antara perempuan, yang banyak pula pergi mengantarkan,
kelihatan Sitti Alirnah dengan ibu-bapanya, karena teringat akan
Sitti Nurbaya, kekasih yang meninggal ini.
Setelah jenazah Samsulbahri dibawa ke mesjid dan
disembahyangkan di sana, barulah dibawa ke Gunung Padang,

tempat makam yang diminta oleh yang meninggal. Setelah

sampai ke sana diturunkanlah jenazah Samsulbahri ke dalam
kubur, yang letaknya antara kubur ibunya dan Sitti Nurbaya,
kekasihnya, sebagaimana permintaannya, pada penghabisan
umurnya, lalu diernbangkan dan ditimbunlah liang kubur itu.
Kemudian dibacakan talkin.
Sekalian pembesar Belanda dan bangsa lain turut menimbun
kubur itu dengan sekepal tanah dan akhirnya disiramilah kubur
itu dengan air cendana dan disebarkanlah bunga-bungaan ke
atasnya. Setelah itu berpidatolah seorang pembesar tentara,
memperingati kegagahan dan kesetiaan yang meninggal, kepada
Pemerintah. Ialah anak negeri yang mula-mula dapat mencapai
pangkat yang setinggi itu dalam golongan tentara. Kemudian
diucapkannya, supaya arwah yang meninggal mendapat
kesentosaan dan kesejahteraan di alam yang baka.
Setelah Sutan Mahmud mengucapkan terima kasih kepada
pembesar ini dan kepada sekalian orang yang telah datang
memperlihatkan kesedihan hatinya, dengan bersusah payah, ikut
serta menyelamatkan jenazah anaknya dan setelah dimintakan-
nya maaf atas sekalian dosa kesalahan anaknya ini, yang dapat
memberatinya di dalam kuburnya dan setelah dimintakannya
pula doa sekalian yang hadir kepada Allah taala, untuk
keselamatan Samsulbahri, pulanglah sekaliannya ke rumah

masing-masing. Hanya Sutan Mahmud dengan beberapa hajilah

yang masih tinggal mengaji di sana. Kemudian mereka ini pun
pulang pula dan tinggallah Sutan Mahmud dengan kusir Ali,
termenung duduk di atas sebuah batu. Rupanya Sutan Mahmud
terlalu berdukacita karena kematian anaknya ini dan amat
menyesal akan perbuatannya yang telah lalu.
Setelah malamlah hari, berjalanlah kedua mereka itu dari
sana dan sunyilah di makam itu. Hanya Samsulbahrilah yang
tinggal seorang diri, di tempatnya yang awal dan akhir ini.
Insaflah insan akan dirimu, demikianlah juga akhirnya akan
jadimu!
Dua bulan kemudian, kelihatan pada suatu hari, dua orang
muda naik bendi menuju ke Muara. Walaupun pakaian mereka
cara Eropah, tetapi kopiahnya yang hitam itu menyatakan, bahwa
mereka bangsa Bumiputra, anak negeri di sana.
Seorang daripada mereka, berpangkat dokter dan seorang
lagi, berpangkat opseter. Keduanya memegang seikat bunga
dalam tangannya. Setelah sampai ke Muara, lalu mereka
menyeberang sungai Arau dan mendaki Gunung Padang. Tatkala
mereka tiba di tempat yang ditujunya, kelihatanlah di sana
olehnya, lima buah kubur sejejer berdekat-dekatan. Kelima
kubur itu sama besar dan sama bentuknya. Pada tiap-tiap kepala
kubur ini, ada batu nisan dari marmer, yang bertulis dengan

huruf air mas. Di kubur yang pertama tertulis "Inilah kubur

Baginda Sulaiman, meninggal pada tanggal 5 Ramadan, tahun
1315"
Pada nisan yang kedua tertulis "Inilah kubur Siti Nurbaya,
binti Baginda Sulaiman meninggal pada tanggal 5 Zulhidjdjah
tahun 1315".
Pada nisan yang ketiga tertulis "Inilah kubur Samsulbahri,
anak Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal tanggal 5
Syafar, tahun 1326".
Pada nisan yang keempat tertulis, "Inilah kubur Sitti
Maryam, istri Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal pada
tanggal 5 Zulhijah 1315."
Pada nisan yang kelima tertulis "Inilah kubur Sutan Mahmud,
Penghulu Padang, meninggal pada tanggal 8 Rabiulawal, tahun
1326".
Kedua anak muda tadi, lalu menaburkan bunga yang
dibawanya ke atas kelima kubur ini, terlebih-lebih ke atas kubur
yang kedua dan ketiga, sedang air matanya berlinang-linang.
"Bakhtiar!" kata dokter itu. "Adakah engkau sangka, tatkala
kira-kira sebelas tahun yang lalu, berjalan-jalan dengan Samsu
dan Nurbaya kemari, kita pada waktu ini akan melawat kuburnya
di sini? Masihkah engkau mengingat waktu itu, tiga bulan
sebelum kita berangkat ke Jakarta?"

"Sesungguhnya, Arifin," jawab opseter, "tidak kusangka

sekali-kali. Tetapi apa hendak dikata? Karena manusia itu tiada
dapat berbuat sekehendak hatinya, melainkan haruslah menepati
segala janji, yang telah diperbuat. Meskipun demikian, kelima
mereka ini telah nyata dan tetap tempatnya, berdekat-dekatan
kelimanya. Akan tetapi kita ini, belum tentu lagi, entah di mana,
entah dengan siapa."
"Tetapi apakah sebabnya Engku Sutan Mahmud meninggal
dengan tiba-tiba? Apakah sakitnya?" tanya Arifin pula.
"Rindu akan anak-istrinya, menyesal akan perbuatannya,"
jawab Bakhtiar.
"Kasihan," sahut Arifin.
Setelah disuruh mereka beberapa fakir mengaji di sana,
kembalilah keduanya pulang ke rumahnya. Hanya yang telah
berkubur itu jugalah yang tinggal di sana, untuk selama-lamanya.

TAMAT