Friday, March 27, 2020

TEORI PEMBELAJARAN IPA


A.      Pandangan Teori Behavioristik Terhadap Kegiatan Belajar
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon, dengan kata lain belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkahlaku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh anak belum dapat memahami ciri-ciri makhluk hidup dalam pembelajaran IPA. Walaupun ia sudah berusaha giat dan gurunya pun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat memahami antara ciri-ciri makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya, maka ia belum dapat dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Dalam contoh diatas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya alat peraga yang berupa gambar tentang ciri-ciri makhluk hidup untuk membantu belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan maka respon akan semakin kuat. Begitu juga penguatan dikurangi maka respon pun akan tetap dikuatkan. Misalnya ketika anak diberikan tugas oleh guru, maka ia akan semakin giat belajarnya. Penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini justru meningkatkan aktivias belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif dalam belajar. Jadi, penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon. Pandangan teori behavioristik ini cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun, dari semua pendukung teori ini, teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori behavioristik. Program-program pembelajaran seperti teaching machine, pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep penghubungan stimulus respon serta mementingkan faktor-faktor penguat, merupakan program-program pembelajaran yang menerapakn teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.
Teori behavioritik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorang siswa akan dapat belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah diberi stimulus lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar lagi. Disinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini. Namun, teori behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan stimulus lainnya sampai respon yang diinginkan muncul. Persoalannya adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.
Teori-teori yang membahas dalam Teori Behavioristik Terhadap Kegiatan Belajar adalah sebagai beikut:
1.         Teori Belajar Menurut Pavlov
Fisiolog Rusia Ivan Pavlov bukanlah ilmuwan pertama yang menyelediki hewan belajar, namun jelaslah salah satu tokoh yang berjasa merintis eksperimen sistematik untuk memperoleh informasi kuantitatif mengenai subjek tersebut dan dari karyanyalah dari para  ilmuan dimasa selanjutnya mengatahui makna pengkondisian sebagai salah satu bentuk belajar. Dalam karyanya mengenai sistem pencernaan anjing, Pavlov mendapati bahwa air liur anjing bukan hanya timbul jika hewan itu melihat makanan namun, juga jika ia mencium bau makanan. Jika hal ini dibiasakan, maka setiap kali tanda-tanda makanan akan disajikan maka air liur anjing itu pun akan menetes. Hal ini dimaksudnya, untuk mempelajari sistem pencernaan memberi petunjuk-petunjuk penting yang selanjutnya dijadikan landasan sebagai studi refleks kondisional yang membuat nama Pavlov begitu terkenal.
Seekor anjing yang lapar diikat dan disetiap beberapa sekali anjing itu diberi beberapa sendok tepung daging dan setiap saat pemberian ditandai dengan berbagai tanda yang berlainan mulai dari suara sampai kilatan cahaya. Kalau stimulusnya bervariasi maka air liur anjing itu, baru menetes jika ia sudah melihat makanan. Akan  tetapi, jika stimulusnya tetap katakanlah dering bell atau nyala lampu maka ketika nyala lampu atau dering bell itu diberikan, air liur itu sudah menetes sekalipun tidak makanan yang dilihatnya. Inilah respons kondisional yang dimaksud. Apabila diterjemahkan dari bahasa aslinya yakni bahasa Rusia istilah “Kondisional” dan “non-Kondisonal” menjadi “terkondisi” dan “tidak terkondisi”. Kata “pengkodisian” dengan cepat digunakan secara luas untuk menjelaskan prosedur perilaku seperti anjing tadi.
2.    Teori Belajar Menurut Skinner
Belajar menurut pandangan B.F.Skinner (1958) adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Belajar dipahami sebagai suatu perilaku, pada saat orang belajar maka responsnya baik dan sebaliknya. Jadi, belajar merupakan perubahan dalam peluang terjadinya respons. Seorang peserta didik akan belajar sungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai yang baik. Nilai yang baik ini menurut Skinner merupakan “Operant Conditioning”.
Operant Conditioning yang dikemukakan B.F Skinner terdiri-dari respondent response dan operant response. Respondent response bersifat relatif tetap, misalnya stimulus makanan membuat keluarnya air liur. Operant response bersifat dapat dimodifikasi sehingga respons ini yang akan dioptimalkan dalam proses belajar seorang individu. Dalam pembelajaran IPA, teori ini dapat dilaksanakan dengan cara penataan lingkungan sebagai stimulus yang akan menentukan respons peserta didik. Guru berperan penting dalam pemberian stimulus. Jenis-jenis stimulus yaitu:
a.         Positive reinforcement
Adalah penyajian stimulus yang meningkatkan peluang suatu respons. Misalnya, ketika seorang peserta didik tertarik pada materi zat aditif dengan cara eksperimen maka seorang guru dapat memberikan fasilitas, masukan, dan mendukungnya dalam eksperimen zat aditif serta akan memberikan nilai yang baik jika peserta didik tersebut mampu menyelesaikan eksperimennya.
b.        Negative reinforcement
Pembataan stimulus yang tidak menyenangkan, yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respons. Misalnya, yang terjadi di kelas IPA, peserta didik yang tidak tertarik dengan materi IPA, dan selalu mendapatkan nilai terendah dan dimarahi guru akan membuat peserta didik tersebut semakin benci dengan materi IPA.



c.         Punishment (Hukuman)
Adalah pemberian stimulus yang tidak menyenangkan. Hukuman yang diberikan oleh peserta didik akan membuat peserta didik itu menyadari kesalahannya dan juga malah akan menjauh.
d.   Primary reinforcement
Adalah stimulus pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis.
e.    Secondary or learned reinforcement
Adalah penguatan untuk kebutuhan-kebutuhan tambahan peserta didik.
f.     Modifikasi tingkah laku
Adalah pemberian stimulus pada peserta didik berdasarkan minat dan kesenangan peserta didik.
3.    Teori Belajar Menurut  Robert M. Gagne
Belajar merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Proses belajar dapat terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja, yang kesemuanya itu mempunyai keuntungan dan mudah diamati (Gagne et al, 1992). Belajar merupakan kegiatan yang kompleks yang menghasilkan kapabilitas. Timbulnya kapabilitas disebabkan stimulus yang berasal dari lingkungan, dan proses kognitif yang dilakukan oleh peserta didik (Gagne et al, 1992).
Lingkungan akan berpengaruh signifikan terhadap kesuksesan peserta didik belajar IPA sehingga diperlukan suatu pembelajaran, yang diatur sebagai suatu kejadian yang berdampak pada peserta didik dengan menggunakan fasilitas-fasilitas tertentu, misalnya handout, gambar, grafik/penampang lintang organ, praktikum fisika, model atom, dan lain-lain.
Penataan suatu proses pembelajaran yang memerhatikan stimulus dari lingkungan dan proses kognitif peserta didik akan mengahasilkan suatu keragaman kapabilitas seorang peserta didik. Hal ini desebabkan, peserta didik mempunyai tujuan, motivasi, talenta, dan penyesuaian sosial dan fisik yang berbeda-beda. Menruut Gagne et al (1992), ada tiga tahap dalam belajar diantaranya:
a.         Persiapan untuk belajar dengan melakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan, dan mendapatkan kembali informasi.
b.        Pemerolehan dari unjuk perbuatan yang digunakan untuk persepsi selektif, sandi sematik, pembangkitan kembali, respons, dan penguatan.
c.         Alih belajar, yaitu pengisyaratan untuk membangkitkan dan memberlakukan secara umum (Dimyati dan Mudjiono, 1999).
Belajar tidak lepas dari rumusan kompetensi pembelajaran. Kompetensi pembelajaran ini merupakan parameter sukses tidaknya proses pembelajaran pada seorang individu. Pencapaian kompetensi pembelajaran dilaksanakan dalam bentuk penyesuaian fase belajar dengan acara pembelajaran seperti terlihat Tabel 4.1
Tabel 4.1
Hubungan Fase Belajar dengan Acara Pembelajaran IPA
Pemberian Aspek Belajar
Fase Belajar
Acara Pembelajaran IPA
Persiapan untuk Belajar
1. Mengarahkan perhatian
Menarik perhatian peserta didik dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus tentang fenomena-fenomena alam yang ada di lingkungan peserta didik.
2.    Ekspektasi
Memberitahu peserta didik mengenai tujuan belajar IPA.
3.    Retrival (informasi dan keterampilan yang relevan untuk memori kerja.
Merangsang peserta didik agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah diketahui sebelumnya).
Pemerolehan dan unjuk perbuatan
1.     Persepsi selektifitas sifat stimulus
Menyiapkan stimulus yang jelas sifatnya dapat berupa demostrasi, simulasi, dan eksperimen.
2.     Sandi semantik
Memberikan bimbingan belajar IPA.
3.     Retrival dan respons
Memunculkan perbuatan peserta didik.
4.    Penguatan
Memberikan balikan informatif dapat berupa arti penting materi IPA dalam aplikasi/penerapan/pemecahan masalah hidup.
Retrival dan alih belajar
1.    Pengisyaratan
Menilai perbuatan peserta didik
2.     Pemberlakuan secara umum
Meningkatkan retensi dan alih belajar.

Contoh Penerapan dalam teori Behaviorisme dalam pembelajaran IPA SD
Guru memberikan rangsangan dengan memberi pertanyaan yang terbuka. Contoh: anak-anak, kenapa harus mengkonsumsi sayur-sayuran?” dengan pertanyaan seperti ini, siswa pasti menanggapi atau merepon secara aktif dengan berbagai jawaban, “supaya badan sehat”. Dengan ini pikiran mereka terbuka, dan yang paling penting guru memberikan penghargaan (reward) dengan tujuan agar siswa bisa dikuatkan dan termotivasi sehingga pola tingkah laku mereka untuk belajar lebih tinggi, dan dengan pengetahuan ini, mereka saling menguji untuk menjawab ketika diberikan pertanyaan.

B.       Pandangan Teori Konstruktivisme Terhadap Kegiatan Belajar
Konstruktivisme berasal dari kata “to construct” yang berarti membangun atau menyusun. Menurut Carin (dalam Anggriamurti, 2009)bahwa teori konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang menekankan bahwa para siswa sebagai pebelajar tidak menekankan begitu saja pengetahuan yang mereka dapatkan, tetapi mereka secara aktif membangun pengetahuan secara idividual.
Proses membentuk suatu pengetahuan berlangsung secara bertahap dan akan selalu melengkapi atribut-atribut yang belum ada dalam skema seseorang. Pembentkan pengetahuan ini akan selalu dihadapkan pada pengalaman atau fenomena yang dijumpai oleh seorang individu. Pengetahuan bukanlah barang. Jadi, terus berkembang seiring perkembangan mental seorang individu.
IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam. Fenomena-fenomena alam yang dipelajari dalam IPA berasal dari fakta-fakta yang ada di alam dan hasil abstraksi pemikiran manusia. Ketika fenomena tersebut dijumpai oleh peserta didik maka proses konstruksi pengetahuan akan lebih mudah dibandingkan dengan IPA yang berasal dari abstraksi pemikiran manusia.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterprestasikan berdasarkan pengalamnnya. Kons-truktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginter-pretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusai secara individual.

Contoh Penerapan konstruktivisme dalam pembelajaran IPA SD
Penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pembelajaran berpusat pada siswa (student center). Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa, sehingga siswa dapat bekerjasama. Misalnya dalam materi pembelajaran IPA SD tentang struktur dan bagian tubuh manusia, guru menyurh siswa untuk menunjukkan sendiri bagian-bagian tubuhnya seperti kepala, tangan, kaki, dan lain-lain. Secara tidak langsung siswa sudah menerapkan sistem pembelajaran yang berpusat pada dirinya atau siswa dibagi dalam beberapa kelompok. Kemudian guru memberikan suatu permasalahan dan siswa mendiskusikannya dalam kelompok masing-masing. Guru memberi nilai yang baik siswa yang aktif dalam kelompoknya.

C.      Pandangan Teori Kognitif Terhadap Kegiatan Belajar
Teori belajar kognitif mementingkan proses belajar daripada hasilnya. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Teori ini sering disebut sebagai model perseptual dimana tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannnya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajar. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahamn yang tidak selalu yang tidak dapat terlihat sebagai bentuk tingkah laku yang nampak.
Teori ini menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dngan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah,  akan kehilangan maknanya.
Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain: pengaturan, stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitf yang sudah dimiliki dan telah terbentuk didalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem  syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seorang, maka makin kompleks lah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula  kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanaya perubahan-perubahn kualitatif didalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulakan bahwa daya fikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula kualitatif. Bagaimana seseorang memeperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan anatra apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan. Bila seseorang dengan kondisi sekarang dapat mengatasi situasi baru, keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika tidak, ia akan melakukan adaptasi dengan lingkungannya.
Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah suatu proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang, sementara akomodasi adalah proses perbuhan struktur kognitf sehingga dapat dipahami. Dengan kata lain, apabila individu menerima informasi aatu pengalamn baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi, sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah dipunyainya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitf yang sudah dimilikinya yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi. Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitf atau sesuatu ketidakseimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau yang dialaminya sekarang.
Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baru dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akmodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif kedalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
        Jerome Bruner (1966)  adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan kognitif. Ia menandai perkembangan kognitf manusia adalah sebagi berikut:
1.        Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
2.        Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realis.
3.        Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
4.        Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.

Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik, dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Jika Piaget mengatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan bahwa pekermbangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitifnya.






Contoh Penerapan Teori Piaget dalam Pembelajaran IPA di SD.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan pembelajaran di kelas antara lain bahwa Piaget beranggapan anak bukan merupakan suatu botol kosong yang siap untuk diisi, melainkan anak secara aktif akan membangun pengetahuan dunianya. Satu hal lagi, teori Piaget mengajarkan kita pada suatu kenyataan bahwa seluruh anak mengikuti pola perkembangan yang sama tanpa mempertimbangkan kebudayaan dan kemampuan anak secara umum. Hanya umur anak dimana konservasi muncul sering berbeda. Poin yang penting ini menjelaskan kita mengapa pembelajaran IPA di SD banyak menggunakan percobaan-percobaan nyata dan berhasil pada anak yang lemah dan anak yang secara kebudayaan terhalangi.
Penerapan selanjutnya adalah guru harus selalu ingat bahwa anak menangkap dan menerjemahkan sesuatu secara berbeda. Sehingga, walupun anak mempunyai umur yang sama tetapi ada kemungkinan mereka mempunyai pengertian yang berbeda terhadap suatu benda atau kejadian yang sama. Jadi, seorang individu anak adalah unik (khas).
Implikasi lainnya yang perlu diperhatian, apabila hanya kegiatan fisik yang diterima anak, tidak cukup untuk menjamin perkembangan intelektual anak yang bersangkutan. Ide-ide anak harus selalu dipakai. Piaget memberikan contoh sementara beliau menerima ide anak, beliau juga mempersiapkan pilihan-pilahan yang dapat dipertimbangkan oleh anak. Sehingga apabila ada seorang anak yang mengatakan bahwa air yang berada diluar gelas berisi es berasal dari lubang-lubang kecil yang ada pada gelas maka guru harus menjawab pertanyaan itu dengan bagus. Tetapi seharusnya bahwa sebenarnya air yang ada dipermukaan luar gelas bukan berasal dari lubang-lubang kecil pada gelas, melainkan berasal dari uap air di udara yang mengempun pada permukaan gelas yang dingin. Jadi, guru harus selalu secara tidak langsung memberikan idenya tetapi tidak memaksakan kehendaknya. Dengan demikian, anak akan menyadari bagaimana anak tersebut bisa mendapatkan idenya.
Dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk menilai sumber ide-idenya akan memberikan kesempatan pada mereka untuk menilai proses pemecahan masalah. Hal ini juga perlu dilakukan di dalam kelas. Sebagai contoh, apabila kelas teleh menyelesaikan suatu masalah, sebaiknya guru menanyakan kembali kepada siswa tentang cara mendapatkan jawaban tersebut. Misalnya dengan “Bagaimana kita bisa sampai pada jawaban ini?” dan membantu kelas untuk mengulas kembali tahapan-tahapan yang dilalui hingga menemukan jawaban atau kesimpulan. Dengan demikian, guru lebih membantu anak dalam proses perkembangan intelektualnya. Dari pembahasan diatas, terlihat bahwa proses pembelajaran di kelas menurut Piaget harus meletakkan anak sebagai faktor utama. Hal ini sering disebut sebagai pengajaran yang berpusat pada anak (Child Center).

D.      Pandangan Teori Humanistik Terhadap Kegiatan Belajar
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dari ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian psikologi blajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri.
Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep  pemahaman  untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dengan pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mngatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru kedalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori Humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia  yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, realisasi diri, orang yang belajar secara optimal. Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori  belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia. Tidak dapat disangkal lagi disetiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu, maka akan ada kebaikan dan ada adapula kelemahannya.
Seorang ahli penganut aliran humanistik membagi tahap-tahap belajar menjadi 4 yaitu:

1.         Tahap Pengalaman Konkrit
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan merasakannya, dapat menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakekat dari peristiwa tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia belum juga dapat memahami memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu, kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.
2.         Tahap Pengamatan aktif dan reflektif
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaiamana hal itu bisa itu bisa terjadi, mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peritiwa yang dialaminya semakin berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi yang dimiliki seseorang pada tahap kedua dalam tahap belajar.
3.         Tahap konseptualisasi
Tahap ketiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum atau prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya. Berpikir induktif banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-beda, namun memeliki komponen-komponen yang sama yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.
4.         Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau suat rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Contoh Penerapan Teori Humanistik dalam Pembelajaran IPA
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Karena dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar dalam menerjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang lebih konkret dan praktis. Namun, karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan uang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang di cita-citakan. Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal ini tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa akan mengalami belajar eksperensial.
Dalam prakteknya teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh karena itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang langkah-langkah pembajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001) dapat digunakan sebagai acuan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.         Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
b.        Menentukan materi pelajaran.
c.         Mengidentifikasi kemampuan awal siswa.
d.        Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
e.         Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
f.         Membimbing siswa belajar secara aktif.
g.        Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
h.        Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
i.          Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
j.          Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

Contoh Penerapan Teori Humanistik dalam Pembelajaran IPA
Dalam Pembelajar IPA mengenai Makhluk Hidup sebaiknya guru tidak seharusnya menggunakan metode konvensional atau ceramah yang sering kali membuat siswa kurang memahami arti dan makna pembelajaran yang disampaikan, guru hendaknya memahami perilaku siswa dengan mencoba memasuki dunia persepsi siswa sehingga selain memberikan ilmu pengetahuan, ia juga dapat merubah perilakunya. Guru juga berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada dengan memamhami semua, seorang guru dapat mengkaitkan bahan ajar dengan kehidupannya,seorang guru dapat mengkaitkan bahan ajar dengan kehidupannya. Dengan ini siswa akan bersentuh langsung dengan obyek yang dipelajarinya. Seperti pembelajaran tentang Makhluk hidup, guru dapat menghadirkan makhluk aslinya dengan proses pembelajaran ataupun mengajak siswa siswinya keluar kelas untuk mengamati makhluk hidup yang ada dilingkungan sekitar.
Contohnya, guru mengajak siswa untuk megamati hewan seperti sapi, kambing, kelinci yang berada di lingkungan sekolah, atau mengamati bunga, rumput ataupun pohon-pohanan. Sehingga siswa dapat belajar dengan senang dan bergairah, serta memberikan pengalaman unik dalam pembelajaran. Siswa akan merasa pelajaran IPA itu menyenangkan dan tidak membosankan. Jadi, siswa tidak lagi hanya sebatas menerima materi dari apa yang guru jelaskan  dan materi yang ada di buku, tetapi disini siwa dapat mengambil pelajaran dan mengkaitkan kehidupan sehanri-hari dan siswa dapat mencintai makhluk hidup dilingkungan sekitar.


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, noehi dkk. (2000). Pendidikan IPA di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Pardjono,dkk. (2015). Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional Pekerti. Yogyakarta: UNY Press.
Pengertian Teori Kontruktivistik.
. Di akses pada hari Rabu, 28 September 2016. Pukul: 19:00 WIB.
Suranto. (2015). Teori Belajar dan Pembelajaran Kontemporer. Yogyakarta: Laksbang Pressindo
Wisudawati, widi asih. (2014). Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi Aksara.
Yamin, Martinis. (2008). Paradigma Pendidikan Konstruktivistik. Jakarta: Gaung Persada Press.