A.
Pandangan
Teori Behavioristik Terhadap Kegiatan Belajar
Menurut
teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
adanya interaksi antara stimulus dan respon, dengan kata lain belajar merupakan
bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkahlaku
dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah
lakunya. Sebagai contoh anak belum dapat memahami ciri-ciri makhluk hidup dalam
pembelajaran IPA. Walaupun ia sudah berusaha giat dan gurunya pun sudah
mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat memahami
antara ciri-ciri makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya, maka ia belum
dapat dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan perubahan perilaku
sebagai hasil belajar.
Menurut
teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Dalam contoh diatas, stimulus adalah
apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya alat peraga yang berupa
gambar tentang ciri-ciri makhluk hidup untuk membantu belajar siswa, sedangkan
respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru.
Faktor
lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor
penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon.
Bila penguatan ditambahkan maka respon akan semakin kuat. Begitu juga penguatan
dikurangi maka respon pun akan tetap dikuatkan. Misalnya ketika anak diberikan
tugas oleh guru, maka ia akan semakin giat belajarnya. Penambahan tugas
tersebut merupakan penguatan positif dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi
dan pengurangan ini justru meningkatkan aktivias belajarnya, maka pengurangan
tugas merupakan penguatan negatif dalam belajar. Jadi, penguatan merupakan
suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan
(dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon. Pandangan teori behavioristik
ini cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun, dari semua pendukung teori
ini, teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan
teori behavioristik. Program-program pembelajaran seperti teaching machine, pembelajaran berprogram, modul, dan
program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep penghubungan
stimulus respon serta mementingkan faktor-faktor penguat, merupakan
program-program pembelajaran yang menerapakn teori belajar yang dikemukakan
oleh Skinner.
Teori
behavioritik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan
stimulus dan respon. Contohnya, seorang siswa akan dapat belajar dengan baik
setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah diberi stimulus lagi yang sama
bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar lagi. Disinilah
persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak mampu menjelaskan
alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini. Namun,
teori behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan stimulus lainnya
sampai respon yang diinginkan muncul. Persoalannya adalah bahwa teori
behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.
Teori-teori
yang membahas dalam Teori Behavioristik Terhadap Kegiatan Belajar adalah
sebagai beikut:
1.
Teori Belajar Menurut
Pavlov
Fisiolog
Rusia Ivan Pavlov bukanlah ilmuwan pertama yang menyelediki hewan belajar, namun
jelaslah salah satu tokoh yang berjasa merintis eksperimen sistematik untuk
memperoleh informasi kuantitatif mengenai subjek tersebut dan dari karyanyalah
dari para ilmuan dimasa selanjutnya
mengatahui makna pengkondisian sebagai salah satu
bentuk belajar. Dalam karyanya mengenai sistem pencernaan anjing, Pavlov
mendapati bahwa air liur anjing bukan hanya timbul jika hewan itu melihat
makanan namun, juga jika ia mencium bau makanan. Jika hal ini dibiasakan, maka
setiap kali tanda-tanda makanan akan disajikan maka air liur anjing itu pun
akan menetes. Hal ini dimaksudnya, untuk mempelajari sistem pencernaan memberi
petunjuk-petunjuk penting yang selanjutnya dijadikan landasan sebagai studi
refleks kondisional yang membuat nama Pavlov begitu terkenal.
Seekor
anjing yang lapar diikat dan disetiap beberapa sekali anjing itu diberi
beberapa sendok tepung daging dan setiap saat pemberian ditandai dengan
berbagai tanda yang berlainan mulai dari suara sampai kilatan cahaya. Kalau
stimulusnya bervariasi maka air liur anjing itu, baru menetes jika ia sudah
melihat makanan. Akan tetapi, jika
stimulusnya tetap katakanlah dering bell atau nyala lampu maka ketika nyala
lampu atau dering bell itu diberikan, air liur itu sudah menetes sekalipun
tidak makanan yang dilihatnya. Inilah respons kondisional yang dimaksud.
Apabila diterjemahkan dari bahasa aslinya yakni bahasa Rusia istilah
“Kondisional” dan “non-Kondisonal” menjadi “terkondisi” dan “tidak terkondisi”.
Kata “pengkodisian” dengan cepat digunakan secara luas untuk menjelaskan
prosedur perilaku seperti anjing tadi.
2. Teori
Belajar Menurut Skinner
Belajar
menurut pandangan B.F.Skinner (1958) adalah suatu proses adaptasi atau
penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Belajar dipahami
sebagai suatu perilaku, pada saat orang belajar maka responsnya baik dan
sebaliknya. Jadi, belajar merupakan perubahan dalam peluang terjadinya respons.
Seorang peserta didik akan belajar sungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai yang
baik. Nilai yang baik ini menurut Skinner merupakan “Operant Conditioning”.
Operant Conditioning
yang dikemukakan B.F Skinner terdiri-dari respondent response dan operant response. Respondent response
bersifat relatif tetap, misalnya stimulus makanan membuat keluarnya air liur. Operant response bersifat dapat
dimodifikasi sehingga respons ini yang akan dioptimalkan dalam proses belajar
seorang individu. Dalam pembelajaran IPA, teori ini dapat dilaksanakan dengan
cara penataan lingkungan sebagai stimulus yang akan menentukan respons peserta
didik. Guru berperan penting dalam pemberian stimulus. Jenis-jenis stimulus
yaitu:
a.
Positive
reinforcement
Adalah penyajian stimulus yang
meningkatkan peluang suatu respons. Misalnya, ketika seorang peserta didik
tertarik pada materi zat aditif dengan cara eksperimen maka seorang guru dapat
memberikan fasilitas, masukan, dan mendukungnya dalam eksperimen zat aditif
serta akan memberikan nilai yang baik jika peserta didik tersebut mampu
menyelesaikan eksperimennya.
b.
Negative
reinforcement
Pembataan stimulus yang tidak
menyenangkan, yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respons.
Misalnya, yang terjadi di kelas IPA, peserta didik yang tidak tertarik dengan
materi IPA, dan selalu mendapatkan nilai terendah dan dimarahi guru akan
membuat peserta didik tersebut semakin benci dengan materi IPA.
c.
Punishment
(Hukuman)
Adalah pemberian stimulus yang
tidak menyenangkan. Hukuman yang diberikan oleh peserta didik akan membuat
peserta didik itu menyadari kesalahannya dan juga malah akan menjauh.
d. Primary reinforcement
Adalah stimulus pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan fisiologis.
e. Secondary or learned
reinforcement
Adalah
penguatan untuk kebutuhan-kebutuhan tambahan peserta didik.
f. Modifikasi
tingkah laku
Adalah
pemberian stimulus pada peserta didik berdasarkan minat dan kesenangan peserta
didik.
3. Teori
Belajar Menurut Robert M. Gagne
Belajar
merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Proses belajar dapat terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja, yang
kesemuanya itu mempunyai keuntungan dan mudah diamati (Gagne et al, 1992).
Belajar merupakan kegiatan yang kompleks yang menghasilkan kapabilitas.
Timbulnya kapabilitas disebabkan stimulus yang berasal dari lingkungan, dan
proses kognitif yang dilakukan oleh peserta didik (Gagne et al, 1992).
Lingkungan
akan berpengaruh signifikan terhadap kesuksesan peserta didik belajar IPA
sehingga diperlukan suatu pembelajaran, yang diatur sebagai suatu kejadian yang
berdampak pada peserta didik dengan menggunakan fasilitas-fasilitas tertentu,
misalnya handout, gambar,
grafik/penampang lintang organ, praktikum fisika, model atom, dan lain-lain.
Penataan
suatu proses pembelajaran yang memerhatikan stimulus dari lingkungan dan proses
kognitif peserta didik akan mengahasilkan suatu keragaman kapabilitas seorang
peserta didik. Hal ini desebabkan, peserta didik mempunyai tujuan, motivasi,
talenta, dan penyesuaian sosial dan fisik yang berbeda-beda. Menruut Gagne et
al (1992), ada tiga tahap dalam belajar diantaranya:
a.
Persiapan untuk belajar
dengan melakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan, dan mendapatkan
kembali informasi.
b.
Pemerolehan dari unjuk
perbuatan yang digunakan untuk persepsi selektif, sandi sematik, pembangkitan
kembali, respons, dan penguatan.
c.
Alih belajar, yaitu
pengisyaratan untuk membangkitkan dan memberlakukan secara umum (Dimyati dan
Mudjiono, 1999).
Belajar tidak lepas dari rumusan
kompetensi pembelajaran. Kompetensi pembelajaran ini merupakan parameter sukses
tidaknya proses pembelajaran pada seorang individu. Pencapaian kompetensi
pembelajaran dilaksanakan dalam bentuk penyesuaian fase belajar dengan acara
pembelajaran seperti terlihat Tabel 4.1
Tabel 4.1
Hubungan Fase Belajar
dengan Acara Pembelajaran IPA
Pemberian
Aspek Belajar
|
Fase
Belajar
|
Acara
Pembelajaran IPA
|
Persiapan untuk Belajar
|
1.
Mengarahkan perhatian
|
Menarik
perhatian peserta didik dengan kejadian yang tidak seperti biasanya,
pertanyaan atau perubahan stimulus tentang fenomena-fenomena alam yang ada di
lingkungan peserta didik.
|
2. Ekspektasi
|
Memberitahu
peserta didik mengenai tujuan belajar IPA.
|
|
3. Retrival
(informasi dan keterampilan yang relevan untuk memori kerja.
|
Merangsang
peserta didik agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah diketahui
sebelumnya).
|
|
Pemerolehan dan unjuk perbuatan
|
1. Persepsi
selektifitas sifat stimulus
|
Menyiapkan
stimulus yang jelas sifatnya dapat berupa demostrasi, simulasi, dan
eksperimen.
|
2. Sandi
semantik
|
Memberikan
bimbingan belajar IPA.
|
|
3. Retrival
dan respons
|
Memunculkan
perbuatan peserta didik.
|
|
4. Penguatan
|
Memberikan
balikan informatif dapat berupa arti penting materi IPA dalam
aplikasi/penerapan/pemecahan masalah hidup.
|
|
Retrival dan alih belajar
|
1. Pengisyaratan
|
Menilai perbuatan
peserta didik
|
2. Pemberlakuan
secara umum
|
Meningkatkan retensi dan alih belajar.
|
Contoh
Penerapan dalam teori Behaviorisme dalam pembelajaran IPA SD
Guru
memberikan rangsangan dengan memberi pertanyaan yang terbuka. Contoh: anak-anak,
kenapa harus mengkonsumsi sayur-sayuran?” dengan pertanyaan seperti ini, siswa
pasti menanggapi atau merepon secara aktif dengan berbagai jawaban, “supaya
badan sehat”. Dengan ini pikiran mereka terbuka, dan yang paling penting guru
memberikan penghargaan (reward) dengan tujuan agar siswa bisa dikuatkan dan
termotivasi sehingga pola tingkah laku mereka untuk belajar lebih tinggi, dan
dengan pengetahuan ini, mereka saling menguji untuk menjawab ketika diberikan
pertanyaan.
B.
Pandangan
Teori Konstruktivisme Terhadap Kegiatan Belajar
Konstruktivisme
berasal dari kata “to construct” yang
berarti membangun atau menyusun. Menurut Carin (dalam Anggriamurti, 2009)bahwa
teori konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang menekankan bahwa para
siswa sebagai pebelajar tidak menekankan begitu saja pengetahuan yang mereka
dapatkan, tetapi mereka secara aktif membangun pengetahuan secara idividual.
Proses
membentuk suatu pengetahuan berlangsung secara bertahap dan akan selalu
melengkapi atribut-atribut yang belum ada dalam skema seseorang. Pembentkan
pengetahuan ini akan selalu dihadapkan pada pengalaman atau fenomena yang
dijumpai oleh seorang individu. Pengetahuan bukanlah barang. Jadi, terus
berkembang seiring perkembangan mental seorang individu.
IPA
merupakan ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam. Fenomena-fenomena alam
yang dipelajari dalam IPA berasal dari fakta-fakta yang ada di alam dan hasil
abstraksi pemikiran manusia. Ketika fenomena tersebut dijumpai oleh peserta
didik maka proses konstruksi pengetahuan akan lebih mudah dibandingkan dengan
IPA yang berasal dari abstraksi pemikiran manusia.
Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang.
Manusia mengkonstruksi dan menginterprestasikan berdasarkan pengalamnnya.
Kons-truktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang
mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan
yang digunakan untuk menginter-pretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa.
Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting
dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata
dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusai secara
individual.
Contoh
Penerapan konstruktivisme dalam pembelajaran IPA SD
Penerapan
pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk
pembelajaran berpusat pada siswa (student center). Guru dituntut untuk
menciptakan suasana belajar sedemikian rupa, sehingga siswa dapat bekerjasama.
Misalnya dalam materi pembelajaran IPA SD tentang struktur dan bagian tubuh
manusia, guru menyurh siswa untuk menunjukkan sendiri bagian-bagian tubuhnya
seperti kepala, tangan, kaki, dan lain-lain. Secara tidak langsung siswa sudah
menerapkan sistem pembelajaran yang berpusat pada dirinya atau siswa dibagi dalam
beberapa kelompok. Kemudian guru memberikan suatu permasalahan dan siswa
mendiskusikannya dalam kelompok masing-masing. Guru memberi nilai yang baik
siswa yang aktif dalam kelompoknya.
C.
Pandangan
Teori Kognitif Terhadap Kegiatan Belajar
Teori
belajar kognitif mementingkan proses belajar daripada hasilnya. Belajar tidak
sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Teori ini sering
disebut sebagai model perseptual dimana tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi serta pemahamannnya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan
belajar. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahamn yang tidak selalu
yang tidak dapat terlihat sebagai bentuk tingkah laku yang nampak.
Teori
ini menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dngan
seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi materi
pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara
terpisah-pisah, akan kehilangan
maknanya.
Teori
ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup
ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan
lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berfikir yang
sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain: pengaturan, stimulus yang
diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitf yang sudah dimiliki dan
telah terbentuk didalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan
pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Menurut
Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik yaitu suatu proses
yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur
seorang, maka makin kompleks lah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang
menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang
akan menyebabkan adanaya perubahan-perubahn kualitatif didalam struktur
kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang
dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulakan bahwa daya fikir atau
kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula kualitatif. Bagaimana
seseorang memeperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan berhubungan
dengan proses mencari keseimbangan anatra apa yang mereka rasakan dan mereka
ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai
pengalaman atau persoalan. Bila seseorang dengan kondisi sekarang dapat
mengatasi situasi baru, keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika tidak,
ia akan melakukan adaptasi dengan lingkungannya.
Proses
adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah suatu proses perubahan apa yang dipahami sesuai
dengan struktur kognitif yang ada sekarang, sementara akomodasi adalah proses
perbuhan struktur kognitf sehingga dapat dipahami. Dengan kata lain, apabila
individu menerima informasi aatu pengalamn baru maka informasi tersebut akan
dimodifikasi, sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah dipunyainya.
Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitf yang sudah
dimilikinya yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini
disebut akomodasi. Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang
mengalami konflik kognitf atau sesuatu ketidakseimbangan antara apa yang telah
diketahui dengan apa yang dilihat atau yang dialaminya sekarang.
Menurut
Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses
pengintegrasian atau penyatuan informasi baru dalam struktur kognitif yang
telah dimiliki oleh individu. Proses akmodasi merupakan proses penyesuaian
struktur kognitif kedalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi
adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Jerome Bruner (1966) adalah seorang pengikut setia teori kognitif,
khususnya dalam studi perkembangan kognitif. Ia menandai perkembangan kognitf
manusia adalah sebagi berikut:
1.
Perkembangan
intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
2.
Peningkatan pengetahuan
tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realis.
3.
Perkembangan
intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau
pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan
dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri
sendiri.
4.
Interaksi secara
sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi
perkembangan kognitifnya.
Dalam
memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap
tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan
berjalan dengan baik, dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Jika Piaget mengatakan bahwa
perkembangan kognitif sangat berpengaruh perkembangan bahasa seseorang, maka
Bruner menyatakan bahwa pekermbangan bahasa besar pengaruhnya terhadap
perkembangan kognitifnya.
Contoh
Penerapan Teori Piaget dalam Pembelajaran IPA di SD.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam penyusunan pembelajaran di kelas antara lain
bahwa Piaget beranggapan anak bukan merupakan suatu botol kosong yang siap
untuk diisi, melainkan anak secara aktif akan membangun pengetahuan dunianya.
Satu hal lagi, teori Piaget mengajarkan kita pada suatu kenyataan bahwa seluruh
anak mengikuti pola perkembangan yang sama tanpa mempertimbangkan kebudayaan
dan kemampuan anak secara umum. Hanya umur anak dimana konservasi muncul sering
berbeda. Poin yang penting ini menjelaskan kita mengapa pembelajaran IPA di SD
banyak menggunakan percobaan-percobaan nyata dan berhasil pada anak yang lemah
dan anak yang secara kebudayaan terhalangi.
Penerapan
selanjutnya adalah guru harus selalu ingat bahwa anak menangkap dan
menerjemahkan sesuatu secara berbeda. Sehingga, walupun anak mempunyai umur
yang sama tetapi ada kemungkinan mereka mempunyai pengertian yang berbeda
terhadap suatu benda atau kejadian yang sama. Jadi, seorang individu anak
adalah unik (khas).
Implikasi
lainnya yang perlu diperhatian, apabila hanya kegiatan fisik yang diterima
anak, tidak cukup untuk menjamin perkembangan intelektual anak yang
bersangkutan. Ide-ide anak harus selalu dipakai. Piaget memberikan contoh
sementara beliau menerima ide anak, beliau juga mempersiapkan pilihan-pilahan
yang dapat dipertimbangkan oleh anak. Sehingga apabila ada seorang anak yang
mengatakan bahwa air yang berada diluar gelas berisi es berasal dari
lubang-lubang kecil yang ada pada gelas maka guru harus menjawab pertanyaan itu
dengan bagus. Tetapi seharusnya bahwa sebenarnya air yang ada dipermukaan luar
gelas bukan berasal dari lubang-lubang kecil pada gelas, melainkan berasal dari
uap air di udara yang mengempun pada permukaan gelas yang dingin. Jadi, guru
harus selalu secara tidak langsung memberikan idenya tetapi tidak memaksakan
kehendaknya. Dengan demikian, anak akan menyadari bagaimana anak tersebut bisa
mendapatkan idenya.
Dengan
memberikan kesempatan kepada anak untuk menilai sumber ide-idenya akan
memberikan kesempatan pada mereka untuk menilai proses pemecahan masalah. Hal
ini juga perlu dilakukan di dalam kelas. Sebagai contoh, apabila kelas teleh
menyelesaikan suatu masalah, sebaiknya guru menanyakan kembali kepada siswa
tentang cara mendapatkan jawaban tersebut. Misalnya dengan “Bagaimana kita bisa
sampai pada jawaban ini?” dan membantu kelas untuk mengulas kembali
tahapan-tahapan yang dilalui hingga menemukan jawaban atau kesimpulan. Dengan
demikian, guru lebih membantu anak dalam proses perkembangan intelektualnya.
Dari pembahasan diatas, terlihat bahwa proses pembelajaran di kelas menurut
Piaget harus meletakkan anak sebagai faktor utama. Hal ini sering disebut
sebagai pengajaran yang berpusat pada anak (Child
Center).
D.
Pandangan
Teori Humanistik Terhadap Kegiatan Belajar
Menurut teori humanistik, proses belajar
harus dimulai dari ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu
sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan
lebih mendekati bidang kajian psikologi blajar. Teori humanistik sangat
mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri.
Teori belajar ini lebih banyak berbicara
tentang konsep-konsep pemahaman untuk membentuk manusia yang dicita-citakan,
serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata
lain teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang
paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya,
seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dengan pelaksanaannya, teori humanistik
ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar
bermakna atau “Meaningful Learning”
yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mngatakan bahwa belajar
merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan
pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa
motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi
pengetahuan baru kedalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori
Humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal
tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman
diri, realisasi diri, orang yang belajar secara optimal. Pemahaman terhadap
belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan
teori belajar apapun asal tujuannya
untuk memanusiakan manusia. Tidak dapat disangkal lagi disetiap pendirian atau
pendekatan belajar tertentu, maka akan ada kebaikan dan ada adapula
kelemahannya.
Seorang ahli penganut aliran
humanistik membagi tahap-tahap belajar menjadi 4 yaitu:
1.
Tahap Pengalaman
Konkrit
Pada
tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat
mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat
melihat dan merasakannya, dapat menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan
apa yang dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakekat dari
peristiwa tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan
belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia
belum juga dapat memahami memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi
seperti itu, kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap
paling awal dalam proses belajar.
2.
Tahap Pengamatan aktif
dan reflektif
Tahap
kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin
mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia
mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia
melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan bagaiamana hal itu bisa itu bisa terjadi, mengapa hal itu
mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peritiwa yang dialaminya semakin
berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi yang dimiliki seseorang pada tahap
kedua dalam tahap belajar.
3.
Tahap konseptualisasi
Tahap
ketiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk
membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum atau prosedur
tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya. Berpikir induktif banyak
dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai
contoh peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati
tampak berbeda-beda, namun memeliki komponen-komponen yang sama yang dapat
dijadikan dasar aturan bersama.
4.
Tahap eksperimentasi
aktif.
Tahap
terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah melakukan eksperimentasi
secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan
konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir
deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta
konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau
suat rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus tersebut untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
Contoh
Penerapan Teori Humanistik dalam Pembelajaran IPA
Teori humanistik
sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Karena
dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi
dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar dalam menerjemahkannya ke dalam
langkah-langkah yang lebih konkret dan praktis. Namun, karena sifatnya yang
ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah
terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan
tersebut.
Semua komponen
pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang
ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai
aktualisasi diri.
Teori humanistik
akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi
yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun
akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Ide-ide,
konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan uang telah dirumuskannya dapat
membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal
ini akan dapat membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran
seperti perumusan tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran,
serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang di
cita-citakan. Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap
demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah
dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan
ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa,
mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam
Snelbecker, 1974). Hal ini tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori
ini, agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan
penuh dari siswa sendiri. Maka siswa akan mengalami belajar eksperensial.
Dalam prakteknya
teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan
pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
belajar. Oleh karena itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku
tentang langkah-langkah pembajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling
tidak langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya
Irawan (2001) dapat digunakan sebagai acuan. Langkah-langkah yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
a.
Menentukan
tujuan-tujuan pembelajaran.
b.
Menentukan materi
pelajaran.
c.
Mengidentifikasi kemampuan
awal siswa.
d.
Mengidentifikasi
topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau
mengalami dalam belajar.
e.
Merancang fasilitas
belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
f.
Membimbing siswa
belajar secara aktif.
g.
Membimbing siswa untuk
memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
h.
Membimbing siswa
membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
i.
Membimbing siswa dalam
mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
j.
Mengevaluasi proses dan
hasil belajar.
Contoh
Penerapan Teori Humanistik dalam Pembelajaran IPA
Dalam
Pembelajar IPA mengenai Makhluk Hidup sebaiknya guru tidak seharusnya
menggunakan metode konvensional atau ceramah yang sering kali membuat siswa
kurang memahami arti dan makna pembelajaran yang disampaikan, guru hendaknya
memahami perilaku siswa dengan mencoba memasuki dunia persepsi siswa sehingga
selain memberikan ilmu pengetahuan, ia juga dapat merubah perilakunya. Guru
juga berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada dengan memamhami
semua, seorang guru dapat mengkaitkan bahan ajar dengan kehidupannya,seorang
guru dapat mengkaitkan bahan ajar dengan kehidupannya. Dengan ini siswa akan
bersentuh langsung dengan obyek yang dipelajarinya. Seperti pembelajaran
tentang Makhluk hidup, guru dapat menghadirkan makhluk aslinya dengan proses
pembelajaran ataupun mengajak siswa siswinya keluar kelas untuk mengamati
makhluk hidup yang ada dilingkungan sekitar.
Contohnya, guru
mengajak siswa untuk megamati hewan seperti sapi, kambing, kelinci yang berada
di lingkungan sekolah, atau mengamati bunga, rumput ataupun pohon-pohanan.
Sehingga siswa dapat belajar dengan senang dan bergairah, serta memberikan
pengalaman unik dalam pembelajaran. Siswa akan merasa pelajaran IPA itu
menyenangkan dan tidak membosankan. Jadi, siswa tidak lagi hanya sebatas
menerima materi dari apa yang guru jelaskan
dan materi yang ada di buku, tetapi disini siwa dapat mengambil
pelajaran dan mengkaitkan kehidupan sehanri-hari dan siswa dapat mencintai
makhluk hidup dilingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
noehi dkk. (2000). Pendidikan IPA di SD. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Pardjono,dkk.
(2015). Pengembangan Keterampilan Dasar
Teknik Instruksional Pekerti. Yogyakarta: UNY Press.
Pengertian
Teori Kontruktivistik.
.
Di akses pada hari Rabu, 28 September 2016. Pukul: 19:00 WIB.
Suranto.
(2015). Teori Belajar dan Pembelajaran
Kontemporer. Yogyakarta: Laksbang Pressindo
Wisudawati,
widi asih. (2014). Metodologi
Pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi Aksara.
Yamin, Martinis.
(2008). Paradigma Pendidikan
Konstruktivistik. Jakarta: Gaung Persada Press.